Wajah Pangan Lokal Merauke

Perubahan pola konsumsi pangan di Kabupaten Merauke telah menimbulkan keprihatinan mendalam bagi Andre. Hutan yang menjadi sumber pangan, terus beralih fungsi dan mengancam kemandirian pangan masyarakat asli yang makin mengandalkan pangan industri dari luar. Namun, dengan tekad Andre yang teguh, ia berupaya mengembalikan marwah pangan lokal melalui usaha kolaborasi konsisten yang dijalankannya.

Johan Andres Serhalawan (41) mengernyitkan dahi ketika menggambarkan situasi yang dihadapi oleh masyarakat Marind Anim, suku asli Papua di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Mereka saat ini berhadapan dengan kerentanan pangan akibat perubahan pola konsumsi yang dipicu oleh pelbagai faktor. Dia menyebut satu di antaranya ialah transmigrasi yang membawa masuk sistem barter pangan lokal dengan makanan kemasan instan dari luar.

“Tahun 90-an menjadi dekade transisi yang luar biasa, di mana peralihan dari pangan lokal ke makanan industri seperti mie instan menjadi sangat masif. Tidak heran saat ini banyak anak-anak di kampung mengkonsumsi makanan instan sebagai pilihan utama,” ungkap Andre, yang juga merupakan alumni BEKAL Pemimpin 1.0.

Namun, tidak hanya makanan instan, penyedap rasa juga menjadi primadona masyarakat lokal pada awal dekade itu. Pola makan yang tidak sehat dan tidak higienis ini berlangsung terus-menerus, dipraktekkan oleh para orang tua dan diikuti oleh anak-anak. Dampaknya menyebabkan sistem pangan lokal masyarakat asli Marind Anim semakin terpinggirkan.

Selain transmigrasi lanjut Andre, faktor lain yang sangat memengaruhi ketahanan pangan lokal masyarakat Marind Anim adalah mega proyek lumbung pangan. Mega proyek yang mengonversi 2,6 juta hektar lahan hutan di Papua selatan menjadi lumbung pangan itu justru memicu kerusakan hutan dan melemahkan sistem ketahanan pangan lokal.

Andre menuturkan, proyek tersebut juga dipandang tidak bijaksana dalam menghadapi ancaman krisis pangan. Bahkan banyak yang meyakini bahwa mega proyek itu juga meningkatkan risiko deforestasi dan merusak ekologi. Tidak hanya itu, proyek itu juga merampas hak masyarakat adat untuk mengelola lahan-lahan hutan sebagai sumber penghidupan mereka.

Dia menceritakan, masyarakat Marind Anim sejatinya telah mewarisi sistem ketahanan pangan mandiri dari leluhur mereka. Mereka memiliki pengetahuan tentang memanfaatkan hutan secara bijaksana, menjadikannya sumber pangan nabati dan hewani yang berkelanjutan dan berkearifan lokal.

Sungai Kumbe dan rawa-rawa di Kampung Baad, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua. Foto: Agus Susanto/Kompas.

Sayangnya, perubahan tren dan pola konsumsi makin masif. Pangan lokal seperti sagu dan umbi-umbian tidak lagi menjadi menu utama yang disajikan bagi keluarga, melainkan menjadi pilihan setelah nasi atau beras. Kecenderungan ini terutama dialami oleh anak-anak generasi 2000-an yang lebih memilih beras daripada sagu. Jika tidak ada, mereka cenderung menukar  umbi-umbian atau buah-buahan yang mereka panen dari pekarangan dengan beras dan makanan instan.

“Mereka lebih suka menukar itu, karena merasa lebih kenyang saat makan beras,” lanjut Andre. Kecenderungan ini, menurutnya, mencerminkan perubahan besar dalam pola konsumsi pangan lokal di Papua, khususnya di Merauke. Terlebih, jika masyarakat sudah mulai bergantung pada beras dan harus membelinya, hal ini dapat memperparah keadaan.

Hutan dan hubungan dengan para leluhur

Merauke menghadapi perubahan besar setelah hutan yang menjadi elemen penting dalam sistem pangan masyarakat, diubah menjadi lahan pertanian monokultur. Dalam laporan khusus Kompas berjudul “Limbung Pangan di Merauke” yang terbit pada Desember 2022, Kepala Dinas Tanaman Pangan mengungkapkan bahwa luas lahan yang ditanami padi mencapai 61.816 hektar. Sayangnya, dampak dari mega proyek seperti food estate tidak memberi kemajuan atau mendukung masyarakat, yang terjadi justru kerentanan pangan.

Selama satu dekade berjalannya mega proyek itu di Merauke, hutan yang merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Marind Anim terus terdegradasi. Akibatnya, tidak hanya akses terhadap pangan lokal yang hilang, tetapi juga terputusnya hubungan masyarakat Marind Anim dengan leluhur mereka. Bagi mereka, seperti ‘Ibu’ yang memberikan kehidupan, hutan juga memiliki nilai sakral sebagai dunia leluhur dan tempat suci yang memungkinkan mereka terhubung dengan para leluhur.

Andre menggambarkan betapa sakralnya hutan bagi masyarakat Marind Anim. Dalam pandangan kosmologi mereka, keterputusan hubungan dengan para leluhur membawa mereka menutup diri. Karenanya, perubahan hutan menjadi pertanian monokultur seperti sawit dan padi merusak kepercayaan masyarakat setempat. Selain itu, sumber pangan alami seperti umbi-umbian serta buah-buahan dan yang tumbuh di hutan hilang akibat deforestasi. Semua itu kemudian menyebabkan terputusnya ikatan spiritual dengan leluhur.

Dengan tekad yang bulat, Andre memiliki mimpi untuk masyarakat Papua, terutama di Merauke, bisa kembali mandiri dalam pangan, sebagaimana tradisi yang leluhur mereka ajarkan. Sejak limat tahun terakhir dia mendorong kemerdekaan pangan lokal, memungkinkan masyarakat menanam apapun tanpa ada paksaan. Meski begitu, dia sadar bahwa ambisinya menghadapi tantangan luar biasa, terutama karena tidak mendapat dukungan.

Diskusi ketahanan pangan lokal bersama Kelompok Tani Aembinent dari Sub Suku Marind, Marind Kanum di Kampung Sota, Merauke. Foto: Istimewa.

Oleh karena itu, Andre menggencarkan program edukasi serta sosialisasi di kampung-kampung lokal tentang pentingnya pangan lokal, risiko makanan kemasan, stunting, malnutrisi, serta konservasi ketahanan pangan lokal. Semua ini ia dokumentasikan dan ceritakan melalui buku-buku yang bisa dibagikan kepada anak-anak.

Andre juga melakukan uji coba pola konsumsi makanan di antara masyarakat, terutama pada anak-anak generasi muda. Ia menawarkan berbagai pilihan makanan dan mengamati respon anak-anak dalam memilihnya.

“Kami sajikan kue dan pisang goreng, ternyata mereka lebih memilih kue daripada pisang goreng. Kami juga menyajikan ikan dengan nasi dan ikan dengan umbi. Mereka lebih memilih ikan dengan nasi. Pilihan ini menunjukkan bahwa pola konsumsi mereka sudah berubah dari makanan tradisional. Tentu saja ini merupakan tantangan besar bagi kami,” ungkap Andre.

Bagi Andre, tantangan ini akan memakan waktu cukup lama karena masyarakat telah sangat terpapar oleh informasi yang begitu masif dari media internet.

“Setidaknya diperlukan waktu bertahun-tahun untuk memberikan pengetahuan dan edukasi ke masyarakat agar kembali ke makanan tradisional mereka,” ungkap Andre dengan penuh keyakinan. Dia berharap melalui upaya gigihnya, kedaulatan pangan lokal dan hubungan yang suci dengan dunia leluhur dapat dipulihkan, melestarikan kearifan lokal, dan menciptakan ketahanan pangan yang berkelanjutan untuk masa depan Merauke dan masyarakat Papua.

Memberdayakan komunitas lokal

Masyarakat Kampung Sanggase di Distrik Okaba, Kabupaten Merauke, memulai langkah dalam mewujudkan kemandirian pangan berbasis pemberdayaan masyarakat dan kearifan lokal. Program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini melibatkan aktif partisipasi dari para pemangku kepentingan di kampung.

Inisiasi tersebut datang dari Hendrik Rooroh, alumni BEKAL Pemimpin 2.0. Dengan dukungannya, masyarakat setempat mendapatkan pembinaan dan pelatihan untuk mengembangkan potensi yang ada di kampung, khususnya dalam memanfaatkan lahan pertanian secara berkelanjutan.

“Kami berusaha agar masyarakat mampu mengelola sumber daya alam yang ada secara mandiri. Dengan begitu, mereka tidak lagi harus bergantung pada bantuan pemerintah atau bahkan terpaksa menjual lahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Hendrik.

Potensi kelapa menjadi salah satu fokus pemberdayaan yang telah dilakukan. Pendampingan masyarakat dalam bentuk pemberdayaan lahan yang dilakukan secara berkelompok juga mendapatkan respon positif dari kaum perempuan. Mereka aktif mengambil peran dalam memanfaatkan lahan tidur dengan menanam berbagai sayur dan buah.

Tak hanya itu, upaya memberdayakan lahan sekaligus menjaga hutan juga menjadi perhatian bersama. Hutan memiliki makna mendalam bagi masyarakat Marind, dan dengan menjaga kelestariannya, masyarakat yakin bahwa potensi alam seperti peremajaan, perawatan, dan penanaman kebutuhan sehari-hari dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Langkah ini diharapkan akan membawa dampak positif pada keseimbangan ekosistem dan meningkatkan kehidupan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menghormati nilai-nilai lokal yang turun temurun.

Keterangan foto sampul: Foto udara Kampung Zanegi di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (10/3/2020). Kampung Zanegi menjadi salah satu kampung yang terdampak pembangunan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Kompas/Agus Susanto.

Leave a Comment

Dapatkan kabar terbaru kami

BEKAL Pemimpin

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit

IDEAS

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit

Co-CLASS

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit