Demi menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove di kampung halamannya, Friwen, Raja Ampat, Stevanus Wawiyai (40) berani mengambil keputusan besar yang mengubah jalan hidupnya. Meskipun telah memiliki pekerjaan yang memberikan kecukupan di Wamena, Papua Barat, ia berani berhenti untuk mengubah jalan hidupnya memilih jalan melindungi mangrove.
Pengenalan Steve terhadap mangrove dimulai saat ia belajar di bangku kuliah dan bekerja sebagai Outreach Officer di The Nature Conservancy (TNC). Di sana, Steve membantu masyarakat di Kepulauan Kofiau dalam mengidentifikasi jenis-jenis mangrove.
Setelah tiga tahun bekerja di TNC dari tahun 2008 hingga 2011, Steve memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya dengan rencana mendampingi dan membina masyarakat di Friwen untuk lebih memahami dan menjaga kawasan mangrove.
Tak sendirian, Steve berdiskusi panjang dengan keluarganya sebelum mengambil keputusan. Sang istri, bahkan juga ikut mengambil jalan yang sama demi membantu Steve membangun program restorasi kawasan mangrove di Friwen.
Dia bercerita, dahulu wilayah pesisir Friwen adalah panorama sempurna. Friwen memiliki alam yang asri, air laut biru, pantai yang membentang luas, dan pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi. Namun, pada 2003 ketika Raja Ampat dijadikan kabupaten, banyak perubahan terjadi. Termasuk alih fungsi lahan yang mengakibatkan abrasi.
Di samping itu, Steve juga memahami adanya ketergantungan masyarakat pada kayu mangrove untuk membangun homestay sebagai bagian dari industri pariwisata yang berkembang di Friwen. Meskipun hal ini mendapat pemakluman, ia menyadari bahwa jika tidak diatasi, keberadaan mangrove terancam punah.
Perjalanan perjuangan Steve dalam menyelamatkan ekosistem mangrove berlanjut dengan membentuk komunitas Perkumpulan Kawan Pesisir yang menganut filosofi ‘merawat mimpi menumbuhkan inspirasi’. Pemetaan partisipatif menjadi langkah awal untuk menyelamatkan hutan mangrove yang rusak di Raja Ampat.
Masyarakat lokal, kelompok perempuan, tokoh adat, dan pemuda terlibat dalam kegiatan pemetaan partisipatif di wilayah Friwen dan Yenbeser. Dari hasil pemetaan tersebut, tampak jelas bahwa selama sepuluh tahun terakhir, sejak 2008 hingga 2018, banyak kawasan mangrove yang terbuka dan beralih fungsinya.
Lebih rinci, hasil pemetaan dan identifikasi yang dilakukan kelompoknya itu menunjukkan, luasan kawasan mangrove yang mengalami kerusakan mencapai 132 hektar dari total luas 232 hektar.
Menemukan jalan
Steve berbagi pengalamannya mengenai perjalanan program bersama komunitasnya selama satu tahun. Ia menyatakan bahwa program tersebut tidak mendapat banyak dukungan dari pelbagai pihak. Hingga pada 2020, segala aktivitas Perkumpulan Kawan Pesisir sempat terhenti karena pandemi Covid-19, termasuk program restorasi kawasan mangrove.
“Satu tahun pertama di kampung cukup berat, karena kami harus membiayai segala aktivitas dari tabungan pribadi. Terlebih lagi, pandemi Covid-19 di tahun 2020 membuat program restorasi kawasan mangrove kami terhenti sementara,” ungkap Steve.
Namun, semangat dan keyakinan Steve kembali dikuatkan ketika pada tahun 2021 ia mengikuti program BEKAL Pemimpin. Di sinilah dia merasa mendapatkan semangat baru untuk melanjutkan upaya restorasi kawasan mangrove.
“Di program BEKAL Pemimpin, saya diperkuat untuk mengatasi rasa takut dan ragu. Saya akhirnya keluar dari zona nyaman, dan mendapati dukungan dari berbagai arah dan bertemu dengan orang-orang hebat. Itulah yang meyakinkan saya untuk melanjutkan program restorasi kawasan mangrove,” lanjut Steve.
Setelah mengikuti BEKAL Pemimpin, Steve mendapatkan banyak wawasan yang bisa diimplementasikan dalam program di Perkumpulan Kawan Pesisir. Ia pertama-tama fokus pada perubahan mental masyarakat dan kelompok, serta mengedepankan sikap hati dalam melaksanakan program ini.
“Kita harus menjadi tuan di negeri sendiri dengan cara-cara yang bermartabat. Selain mempertahankan wisatawan untuk menikmati keindahan laut, karang, dan aktivitas menyelam, menjaga ekosistem mangrove juga memiliki peran penting. Sebagai gugusan kepulauan, Raja Ampat tidak boleh dibiarkan rusak dan mengalami abrasi,” tegas Steve.
Hutan mangrove memiliki peran yang sangat penting di dunia, terutama di kawasan pesisir. Keberadaannya memiliki dampak fisik, ekologi, sosial, dan ekonomi yang signifikan. Namun, di sisi lain, kawasan pesisir sangat rentan terhadap dampak negatif ketika mangrove mengalami kerusakan atau hilang. Oleh karena itu, menjaga kelestarian mangrove memerlukan aksi edukasi seiring dengan upaya rehabilitasi dan restorasi.
Dalam upaya restorasi kawasan mangrove, Steve juga memperkenalkan program yang melibatkan generasi muda untuk belajar tentang mangrove melalui penanaman. Edukasi menurutnya menjadi strategi kunci untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya ekosistem hutan mangrove bagi berbagai elemen masyarakat. Peran masyarakat, tokoh perempuan, dan generasi muda menjadi faktor penting dalam upaya konservasi mangrove yang berkelanjutan.
Setelah melakukan identifikasi lahan yang perlu direstorasi melalui pemetaan partisipatif, Steve merancang pelbagai program, termasuk pelatihan pengolahan mangrove sebagai pangan lokal bagi masyarakat. Program ini terinspirasi dari cerita orang tua di masa lalu, ketika masyarakat bertahan hidup dengan mengonsumsi olahan dari mangrove.
Program pengolahan mangrove sebagai pangan lokal juga diperkenalkan dengan cara menarik untuk meningkatkan nilai ekonomis olahan mangrove. Di antaranya diolah menjadi tepung, kue, keripik, dan sabun yang bisa dijajakan kepada para wisatawan.
Dihadapkan banyak tantangan
Dalam usahanya menyelamatkan mangrove, Steve menghadapi berbagai tantangan dalam melaksanakan program bersama Perkumpulan Kawan Pesisir. Tantangan pertama adalah kurangnya keyakinan dari masyarakat dan pemerintah terhadap keberhasilan program yang dijalankannya, terutama karena upaya serupa yang pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya tidak berhasil.
“Mereka skeptis dan berpikir bahwa ini hanya program yang tidak akan berhasil. Namun, ketika kami berhasil mencapai hasil yang signifikan dengan menanam 250.000 bibit di lahan seluas 60 hektar, akhirnya masyarakat dan pemerintah menyadari bahwa untuk berhasil dalam penanaman mangrove, dibutuhkan pengetahuan tentang metode, pemahaman tentang habitat dan ekologi, serta pemilihan jenis mangrove yang tepat,” ujar Steve.
Tantangan berikutnya adalah membangun kesadaran, yang ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Menurut Steve, untuk mengubah perilaku manusia, tidak perlu melibatkan banyak orang; yang terpenting adalah adanya satu atau dua pahlawan lokal yang bersedia bergerak.
Tantangan lain adalah perlunya pendampingan yang komprehensif terhadap masyarakat, karena program-program tersebut tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Pendampingan yang terus menerus sangatlah penting.
Namun, meskipun Steve menghadapi berbagai tantangan dalam upaya melindungi mangrove, ia telah memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang pentingnya mangrove dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ia berusaha menyadarkan keluarganya, termasuk istri, kakak, adik, dan sepupu, untuk bersama-sama terlibat dalam upaya melindungi dan merestorasi kawasan mangrove. Setelah itu, Steve baru mengajak masyarakat yang memiliki niatan yang sama untuk bergabung.
Steve menyimpulkan bahwa perjalanan lima tahun bersama Perkumpulan Kawan Pesisir seperti menyusun puzzle kehidupan. “Kita hidup untuk menyusun keindahan kehidupan, karena sebelum menjadi sesuatu yang utuh, puzzle itu masih dalam keadaan acak dan sulit untuk diidentifikasi. Melalui program BEKAL, kami diajarkan cara melihat dan menyusun puzzle tersebut,” pungkas Steve.
Mendapat Dukungan BRGM
Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia, mencakup 3,31 juta hektar atau 20% dari total luas mangrove dunia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa terdapat 637 ribu hektar lahan mangrove yang berada dalam kondisi kritis di Indonesia.
Pada 2021, Steve dan kelompoknya menerima dukungan dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Sebelumnya, ada 37 kelompok yang didirikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) di masing-masing Kabupaten Papua Barat.
“Kami adalah kelompok ke-38 yang lahir dari inisiatif masyarakat dan kemudian kami mengajukan diri untuk program rehabilitasi mangrove. Kami terdiri dari 19 orang yang terlibat dalam penanaman dan pelatihan pengolahan produk,” ujar Steve.
Berkat bantuan dari program BRGM, kelompok Steve mengalami perkembangan pesat, dari sebelumnya hanya 10 orang menjadi 35 orang, termasuk 20 perempuan dan 15 laki-laki, yang berasal dari tiga desa.
Hasil evaluasi dan pemantauan BRGM menunjukkan bahwa dari 34 kelompok yang berpartisipasi, hanya kelompok Steve yang berhasil dan sukses dalam melaksanakan program rehabilitasi mangrove. Setelah program BRGM selesai, Steve dan kelompoknya terus aktif dalam kegiatan restorasi. Menurutnya, untuk mencapai kesuksesan dalam upaya restorasi mangrove, diperlukan pendampingan menyeluruh, bukan sekadar proyek berbasis program.
Seiring berjalannya waktu, Steve mencoba menjelaskan program yang dilakukan oleh Perkumpulan Kawan Pesisir kepada Pemerintah Daerah, namun usahanya tidak mendapat sambutan hangat.
“Tetapi setelah kami berhasil, banyak yang mengklaim bahwa program kami merupakan hasil dampingan mereka. Kelompok kami sempat merasa kesal, namun inilah dinamika kehidupan yang terjadi,” ucap Steve.
Steve juga pernah merasa tersentuh ketika ada satu keluarga yang ingin belajar menanam bibit mangrove. ‘Seorang Bapak bertanya, ‘Bagaimana cara menanam mangrove? Saya juga ingin tahu cara menanam mangrove.’ Akhirnya, saya memberikan sisa polibag dari kegiatan penanaman. “Tanpa disangka, Bapak tersebut melakukan penanaman mandiri, mengajak istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Setiap hari mereka mengambil tanah dan menyemai mangrove sendiri,” cerita Steve dengan penuh kebanggaan.
Upaya ketekunan keluarga tersebut berhasil. Pemahaman tentang pentingnya pelestarian ekosistem mangrove semakin berkembang di Friwen. Dengan niat besar untuk melakukan rehabilitasi mangrove dengan biaya sendiri, bahkan Bapak tersebut sekarang memiliki kelompok pengembangan usaha.
Program yang dijalankan oleh Steve sudah memberikan dampak yang nyata bagi masyarakat. Terutama kelompok di Perkumpulan Kawan Pesisir yang berhasil meningkatkan produksi hingga lima kali lipat. Upaya restorasi yang dilakukan Steve telah berhasil merestorasi 62 hektar dari total 132 hektar hutan mangrove yang mengalami kerusakan, bekerja sama dengan Perkumpulan Kawan Pesisir.
Tak berhenti di situ, Steve juga mencoba metode lain untuk merestorasi melalui program adopsi mangrove. Mereka mengajak wisatawan yang datang ke Raja Ampat untuk berkontribusi dengan menanam bibit mangrove seharga Rp500 ribu untuk empat bibit. Dia bercerita, sepasang suami istri dari Kanada yang mengikuti program tersebut menyatakan bahwa penanaman ini adalah bentuk kontribusi mereka untuk alam.