Indonesia kaya akan keragaman jenis burung. Saat ini, tidak kurang dari 1818 jenis burung tercatat dan mendiami pulau-pulau di penjuru negeri. Burung Indonesia, organisasi nonprofit yang berfokus pada upaya pelestarian burung-burung di Indonesia bahkan mengungkapkan, jumlah tersebut terus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, anugerah itu nyatanya tidak luput dari kabar yang tak mengenakkan.
Sebab, lebih dari 550 jenis di antaranya masuk ke dalam daftar satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang tentang konservasi dan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengenai jenis tumbuhan dan satwa dilindungi. Dengan penyematan status tersebut, menjadi indikasi bahwa keberlangsungan hidup mereka masih dalam bayang-bayang ancaman. Terlebih, Indonesia juga mengalami ancaman kepunahan tertinggi di dunia yakni sebanyak 12 persen dari keseluruhan burung terancam punah di dunia.
Di kepulauan Maluku Utara—yang masuk ke dalam kawasan burung endemik (Endemic Bird Area) atau wilayah penting untuk konservasi berbasis habitat—juga diketahui menjadi surga bagi beberapa jenis burung, termasuk mereka yang dilindungi. Mulai dari burung-burung dari keluarga paruh bengkok hingga merpati-merpatian, yang salah satunya ialah junai emas (Caloenas nicobarica).
Dalam catatan ilmiah, burung menawan dengan kilau hijau metalik di tubuhnya itu tersebar dari Pulau Nicobar, Semenanjung Malaya, Nusa Tenggara, Papua, hingga Maluku dan berbiak di pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara, termasuk Pulau Jiew. Saban tahun bahkan koloni junai emas datang dan menjadikan pulau yang luasnya sekitar 18 hektar itu naungan yang aman untuk membangun sarang, mencari makan, dan berkembang biak.
Bisa dibilang, kebiasaannya itu seperti ritual musiman yang tak terlewatkan. Menyaksikan koloni hidup bebas di habitatnya seperti pertunjukan yang diberikan alam dan menjadi salah satu pengalaman mengagumkan selama saya melakukan pengamatan burung. Namun belakangan, pemandangan itu makin payah dijumpai. Sekalipun ada, rasa khawatir akan penurunan populasi makin besar karena jejak bekas penangkapan junai emas mudah ditemukan.
Saya masih ingat betul, perjumpaan pertama saya dengan ribuan junai emas di Pulau Jiew, Halmahera Tengah, Maluku Utara meninggalkan banyak kesan. Bukan hanya tentang keindahannya, tetapi juga ironi yang tengah dihadapinya. Meski mendiami pulau terluar dan tak berpenghuni, hal tersebut rupanya belum menjamin kelangsungan hidup junai emas. Pelbagai ancaman terus menghantui burung cantik yang bersarang di ranting-ranting pohon tinggi maupun disemak-semak yang sangat rendah itu.
Pada perjumpaan-perjumpann selanjutnya, dalam benak saya makin tergambar tebal ironi yang dihadapi junai emas. Paling kentara ialah penangkapan secara masif yang dilakukan oleh sejumlah orang. Baik untuk diperdagangkan, dikonsumsi maupun dijadikan hadiah dan oleh-oleh kepada kerabat. Aktivitas tersebut biasa dilakukan di musim berbiak junai emas di Pulau Jiew. Mengingat di periode itu junai emas datang dan jamak dijumpai di beberapa titik pulau karang tak berpenghuni. Di luar itu, mereka seolah ditelan bumi dan pulau kembali sunyi.
Musim bertelur atau berkembang biak dimulai saat datang angin dari utara dan selesai pada saat musim angin dari selatan, atau sekitar Oktober sampai dengan April setiap tahunnya.
Mengingat ironi itu, hati kecil saya sedih. Sebagai pengamat burung, saya prihatin dengan kondisi junai emas yang selalu ditangkap hingga populasinya terganggu. Apalagi, berdasarkan survei terbaru, Pulau Jiew menjadi lokasi berbiak bagi 5400 individu dan 4500 sarang. Jumlah itu menjadi koloni berbiak terbesar yang pernah tercatat, melebihi catatan di Pulau Nutabari dan di Pulau Kumbur di Papua.
Berangkat dari kegelisahan tersebut, saya mencari kegiatan alternatif pengganti kegiatan perburuan junai emas oleh beberapa warga. Berbekal pengalaman, saya mencoba mulai menawarkan program adopsi sarang sebagai upaya penyelamatan populasi junai emas di Pulau Jiew kepada Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Tengah.
Konsep adopsi sarang ini terinspirasi saat saya melakukan pengamatan burung di Desa Jatimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta pada 2018 lalu. Program adopsi sarang yang dilakukan di desa ramah burung itu telah berhasil meningkatkan populasi beragam jenis burung di desa dan menjadikan warganya peduli terhadap kelestarian burung. Hingga saat ini, Desa Jatimulyo telah menjadi salah satu tempat tujuan wisata pengamatan burung terbaik bagi pengamat dan fotografer burung.
Rupanya pengadopsian konsep serupa untuk junai emas tak semuluk yang direncanakan. Beberapa kendala mencuat di antaranya mengenai metode pendekatan ke masyarakat, sumber dana, dan lokasi Pulau Jiew yang jauh. Kondisi itu akhirnya membutuhkan tenaga, waktu, serta biaya yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, dari tempat saya tinggal di Sofifi, Kota Tidore Kepulauan menuju pulau terluar itu memerlukan waktu sekitar satu hari satu malam dengan moda transportasi darat dan laut.
Menemukan jalan
Bak gayung bersambut, pada April 2021 lalu saya mengikuti program BEKAL Pemimpin yang diinisiasi United In Diversity. Program yang dilaksanakan secara daring selama lima bulan ini diikuti lebih dari 50 peserta dari seluruh Indonesia dengan berbagai latar belakang profesi. Banyak hal yang saya dapatkan selama program itu berlangsung. di antaranya pembelajaran yang diawali dengan mindfulness, check-in, sampai dengan journaling. Saya dan seluruh peserta juga diberikan materi tentang Teori-U yang banyak merubah kepribadian saya.
Dalam teori yang digagas oleh Otto Scharmer ini membantu saya dalam proses open will yang saya rasakan sekarang. Saya telah dapat mendengarkan dengan baik, dapat melakukan shadowing kepemimpinan, melakukan sensing yang baik, dan membuat analisa permasalahan menggunakan metode gunung es atau iceberg. BEKAL Pemimpin juga memberikan kesempatan kepada saya untuk membuat sebuah prototipe yang berkelanjutan pada akhir program.
Kesempatan ini tidak disia-siakan. Saya mengajukan prototipe adopsi sarang sebagai upaya penyelamatan junai emas di Pulau Jiew. Prototipe adopsi sarang saya direstui tim BEKAL Pemimpin untuk dijalankan bersama peserta lain dalam sebuah kelompok prototipe. Para peserta bebas memilih prototipe yang telah diajukan dan prototipe adopsi sarang junai emas mendapatkan anggota kelompok yang memiliki pengalaman terbaik di bidangnya.
Pertama Iwan Hunowu, seorang pemerhati burung dari Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS-IP), lalu Simon Rafael, seorang pendidik yang sangat peduli terhadap lingkungan. Selanjutnya Ristika Putri, profesional di bidang pengembangan kabupaten dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL); Intan Novanaya, koresponden di CNN Indonesia; Tomi Akase, pengacara profesional dari Sulawesi Tengah; serta Dicky Hasian, seorang pengembang bisnis berbasis masyarakat.
Setelah melakukan beberapa pertemuan, kelompok prototipe adopsi sarang tersebut diberi nama Kepak Emas. Kepak Emas memiliki makna bahwa avifauna sangat berharga bagi kehidupan manusia. Kelompok ini memiliki niatan untuk membantu upaya pelestarian satwa liar yang berkelanjutan berbasis masyarakat.
Metode-metode pembelajaran di BEKAL Pemimpin kami aplikasikan. Hasil dari implementasi tersebut ialah mendapatkan dukungan dari banyak pihak, informasi populasi dan kondisi junai emas di Pulau Jiew telah menyebar ke keberbagai kalangan, dan menjadi salah satu inovasi yang akan diajukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Maluku Utara sebagai inovasi daerah yang berasal dari komunitas.
Program ini juga telah masuk dalam buku 100 Inovasi KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Maret 2021 lalu. Para pihak yang turut mendukung kegiatan ini di antaranya Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara, Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Tengah, PT Antam UBPN Maluku Utara, Komunitas Halmahera Wildlife Photography, dan sejumlah pihak lainnya. Selain itu, para kepala desa dan kepala Kecamatan Patani Utara juga turut mendukung kegiatan pelestarian ini.
Kegiatan yang dilaksanakan Kepak Emas yakni membentuk kelompok program adopsi sarang di Pulau Jiew, kampanye pelestarian junai emas dan promosi adopsi sarang. Saat ini, kegiatan adopsi telah memasuki tahap kedua. Hasil dari adopsi sarang tersebut langsung diberikan kepada kelompok pemerhati junai emas yang telah dibentuk. Kelompok pemerhati junai emas beranggotakan tiga warga setempat, yang sebelumnya merupakan pemburu junai emas dan satu pemuda yang bertugas sebagai pengelola kegiatan adopsi sarang.
Adopsi sarang merupakan sebuah program untuk menggantikan kegiatan perburuan junai emas oleh masyarakat menjadi kegiatan pengamatan perkembangan sarang junai emas di Pulau Jiew agar dapat berkembang biak alami dihabitatnya. Kompensasi yang diberikan kepada para penjaga sarang burung junai emas sebesar Rp250 ribu per sarang atau Rp5 juta per pohon yang memiliki sarang junai emas lebih dari 50 sarang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota kelompok bahwa mereka telah berhenti untuk berburu burung junai emas di Pulau Jiew pada musim berbiak tahun 2021-2022. Jumlah junai emas yang mereka tangkap setiap tahunnya paling sedikit sebanyak 250 individu. Jadi, program adopsi sarang telah berhasil menyelamatkan sedikitnya 250 individu junai emas di Pulau Jiew. Hasil tersebut merupakan suatu perubahan yang besar dan kabar bahagia bagi dunia.